Get In Touch
541 Melville Ave, Palo Alto, CA 94301,
ask@ohio.clbthemes.com
Ph: +1.831.705.5448
Work Inquiries
work@ohio.clbthemes.com
Ph: +1.831.306.6725
Back

Prolog

Ada sebuah teras kecil di lantai satu sebuah rumah di pinggiran kota Hiroshima. Bangunan traditional dengan arstitektur jepang kuno, Ia berdiri seperti halnya hati yang pernah retak, namun tidak pernah sepenuhnya hancur, Lantai kayunya mengeluarkan bunyi “kriiik” ketika diinjak, bunyi yang begitu lembut dan menua seolah ingin memberitahu: “Aku masih ada. Aku masih mendengar.”

Teras itu tidak luas. Hanya cukup untuk empat orang duduk berdampingan tanpa terlalu dekat, Tapi entah mengapa, mereka yang pernah singgah di sana merasa cukup. Seperti dada yang sesak akhirnya bisa menghela napas panjang. Seperti beban yang tak jadi disimpan, tapi terasa lebih ringan karena dibagi dalam diam.

Di atas meja kayu sederhana, poci teh selalu hangat. Uapnya mengalir ke udara seperti doa-doa yang tak diucap dengan kata-kata, tapi dengan tatapan mata, dengan gesekan jemari pada cangkir, dengan anggukan kecil seolah berkata: “Aku paham.”

Tinggal di rumah itu seorang laki-laki dari Indonesia. datang dari tanah yang jauh, membawa mimpi, rindu, dan pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat dijawab, seorang lelaki dengan senyum yang pelan dan sorot mata yang seolah sudah pernah hidup dua kali.

Setiap sore, lelaki itu akan menyeduh ocha perlahan, seolah ingin menghargai setiap detik yang dituang. Hari Sabtu dan Minggu adalah waktu yang lebih panjang, ia akan berada di sana sejak pagi, kadang hingga malam turun dan lampu jalan menyala satu per satu seperti bintang yang lupa jalan pulang.

Ia tidak mengundang siapa pun untuk duduk. Tapi juga tidak menolak siapa pun yang ingin datang. Karena ia tahu, teras itu bukan ruang fisik, Melainkan tempat pulang bagi jiwa-jiwa yang lelah bertanya, tapi belum ingin dijawab.

Satu demi satu orang datang. Tetangga Jepang, mahasiswa asing, dan bahkan orang-orang yang tidak sengaja tersesat, semuanya pernah duduk di sana.
Dan teras itu, seperti catatan yang tidak ditulis tapi tidak pernah lupa, menyimpan semuanya. Bukan untuk dihakimi tapi untuk dikenang dengan lembut.
Mereka berbicara, kadang panjang, kadang hanya satu kalimat. Ada yang tertawa sambil menangis. Ada yang hanya menatap langit sore yang berwarna madu. Kadang tak ada dialog, hanya dua cangkir teh dan dua hati yang saling menyadari keberadaan.

Di teras itu, waktu tak pernah tergesa. Ia berjalan seperti aliran sungai kecil di pegunungan, tenang, tapi terus bergerak. Dan saat seseorang bangkit dari kursi dan kembali ke kehidupannya, ia tidak membawa jawaban, tapi ia tahu ada sesuatu yang berubah, Sekecil apapun itu, ia merasa sedikit lebih ringan. Sedikit lebih berani.

Maka demikianlah teras itu hidup, bukan karena bangunannya yang kokoh, melainkan karena diam-diam ia menjadi rumah bagi luka-luka yang tidak ingin dijelaskan. Dan lelaki penyeduh ocha itu, ia tidak mengajarkan apa pun. Ia hanya duduk, menyeduh, dan diam. seperti pohon yang hanya berdiri, tapi meneduhkan siapa pun yang singgah di bawahnya. Karena terkadang, kita tidak butuh nasihat. Kita hanya butuh seseorang yang diam di sebelah kita, dan berkata tanpa kata: “Aku juga pernah merasa seperti itu.”

supri
supri
https://supritomo.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website stores cookies on your computer. Cookie Policy